Cerita Tentang Gadhing


 


"Aku nanti jadi penjual mainan.."

"Kenapa?"

"Ya supaya anak-anak kecil senanglah.."

"Penjual mainan harus pintar membaca dan berhitung lho, biar nggak rugi dagangnya"

"Kalau begitu jadi pembuat mainan saja, nggak usah pegang uang"

"Berarti harus bisa membuat ide desain, ukuran, deskripsi, presentasi..."

"... " meletakkan kepala di meja sambil merem

(Gadhing kelas 4 saat itu)

 

Tampaknya perseteruan Gadhing dengan huruf dan angka masih belum bisa didamaikan. Untaian huruf, bunyiannya, masih menjadi benang kusut yang bikin pusing. Pada skala berhitung lain lagi. Sedikit lebih baik karena masih bisa bermain di level operasi dasar. Tapi huruf, kata, kalimat?? Oh no!! dia langsung mengibarkan bendera putih, bahkan sebelum bertarung.

Pembimbingnya sudah melakukan berbagai trik pendekatan calistung tapi progresnya lambat. Rayuan, bujukan, diskusi, argumen, ancaman, tidak membantu membuatnya 'wake up'. Bahkan tak jarang terapis harus keluar dulu dari ruangan untuk memukul tembok, menghela nafas 3 kali dan melafalkan doa, baru masuk kembali ke ruangan. Hehe, ini sih saya... 😆

Kita flasback dulu anak luar biasa ini mulai dari kelas 1. Semester pertama mejanya selalu kosong karena dia lebih nyaman tiduran di arko pak tukang kebun sambil memandang langit. Begitu bel pulang dia masuk kelas dengan ribuan pertanyaan seputar apa yang ditemukannya tadi. Entah itu benda, binatang atau imajinasi pikiran. Guru kelas auto ke perpustakaan nyari bahan untuk ngerjakan PR dari Gadhing.

 

Karena dia ngomongnya juga masih delay, ada kata-kata yang belum jelas. Bilang mobil jadi nobi. Jadi intervensi terapi terpusat di perbaikan fonem dan morfemnya. Dalam waktu 1 tahunan sudah fix delay-nya terselesaikan.

Kelas 2, sudah mulai tertib masuk kelas tapi tergantung pelajaran, kalau nggak suka dia walk out.

 

Komentarnya : "Kenapa sih bu harus belajar itu?" Lagi-lagi guru muter otak ngasih argumentasi yang meyakinkan. Terus setelah itu apa dia mau belajar? jelas tidaklah. Dimata Gadhing semua hal itu sederhana, kalau mau ya lakukan, kalau tidak ya silahkan. Nggak boleh ada pemaksaan.

 

Oke lanjut kelas 3 dan 4, progres Gadhing dalam memahami pelajaran sebenarnya sangat baik karena banyaknya pengetahuan yang dia miliki. Namun minatnya hanya spesifik bidang tertentu dan tidak mau yang lain.

 

Cara belajarnya juga unik dengan menyimpan memori gambar, mengira-ngira, menghubungkan dengan info di kepalanya, lalu menarik kesimpulannya sendiri. Kesimpulan yang dibuatnya bisa benar tapi kadang juga 100% salah. Tapi lagi-lagi dia susah untuk menurunkan harga dirinya dan mengakui kesalahannya, malah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan gurunya. 😬

 

Memori fotografisnya yang diatas rata-rata membuat kinerja auditor jadi kurang mendapat porsi. Sedangkan kemampuan calistung sangat membutuhkan penguasaan coding, objektivasi, auditor sintesis, digit span, dll. Jadi untuk menggempur dengan calistung, visual fotografisnya harus diturunkan dahulu dengan latihan-latihan.

 

 Oke, disinilah 'penderitaan' guru, terapis dan Gadhing dimulai...😀 Disela-sela belajar jika dihitung, ada 5 atau 6 kali terapisnya istighfar. Terapisnya ke timur, Gadhing ke barat,  nggak bisa ketemu, nggak  ada yang mau kalah. Sampai salah satunya kehabisan argumen, kehabisan tenaga, atau bel berbunyi untuk shalat baru berakhir sesi itu dengan damai. Karena tak jarang selama 1 jam Gadhing hanya berdiri dipojokkan menghadap ke tembok sambil cemberut  kalau 'permintaannya' tak dipenuhi.

 

Apa gerangan? Bermain.

Tantangan Gadhing sekarang adalah menariknya dari kesulitan calistung, dan melawan faalangst. Secara umum gangguan ini  disebut disleksia.

 

Penyebab disleksia hingga kini masih belum dapat dipahami dengan baik, karena itu juga para neurolog kesulitan untuk menegakkan definisi yang didasarkan pada gangguan fungsi neurologis. Sehingga definisi yang diletakkan adalah bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang disleksia jika terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi yang diperoleh dan kapasitas yang dimiliki.

 

Jika hanya melihat definisi ini saja, maka kita juga akan terjebak pada anak-anak yang mengalami prestasi rendah (underachiever). Karena dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa setengah dari anak gifted ternyata adalah anak-anak yang mengalami prestasi rendah karena berbagai hal, misalnya jatuhnya motivasi, tawaran pendidikan tidak sesuai, mengalami kondisi frustasi dan depresi, perfeksionis dan faalangst.

 

Karena kita juga dapat terjebak pada keadaan underachiever tadi, maka para neurolog juga sudah meletakkan batasan, bahwa disleksia hanya bisa terjadi andaikan anak-anak tersebut juga mengalami gangguan neurologis yang dapat menyebabkan gangguan pada satu atau lebih area inteligensia, namun keadaan disleksia ini juga hanya dikenakan pada anak-anak dengan inteligensia normal sampai tinggi. Pada anak-anak yang mempunyai inteligensia rendah tidak disebut sebagai anak yang mengalami disleksia atau learning disabilities, tetapi anak yang mengalami multihandycap.

 

Jadi, Gadhing yang memiliki kemampuan daya pikir yang tinggi, visual acuicity yang baik sebenarnya merupakan modal luar biasa sekaligus tantangan baginya untuk dapat berprestasi. Kerja motorik dan imajinasinya menghasilkan benda-benda 3 dimensi sudah diakui semua orang disekolah, bahkan jadi idola adik-adik kelasnya yang ingin belajar.

 

 Sekarang dia di kelas 7 di SMP Alam MutiaraUmat. Alhamdulillah, meski belum lancar dalam skill dasar,  ia masih bertahan mengikuti setiap sesi belajar. Semangatnya terus dipupuk oleh orang tuanya. Guru dan terapisnya tetap mengupayakan semua hal yang terbaik untuk mendukungnya.

Terimakasih Gadhing sudah berusaha dengan gigih. 🥰

 

Desy-Psikoterapis

Sekolah Alam Mutiara Umat

 

#sekolahalammutiaraumat

#sekolahalamtulungagung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar